Jumat, 14 Desember 2012

Ilmu Syariat Thariqat Haqiqat Ma'rifat

                                                                                                                                                                      
  I S L A M  dan  I L M U N Y A

I.     Syariat,  Thariqat,  Haqiqat,  Ma’rifat.
Banyak dibicarakan sudah tentang  empat  bagian ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan antara satu dengan lainnya didalam pengtahuan akan Islam.   Maka untuk pengantar dan pendahuluan pengetahuan selanjutnya, ada baiknya ke-empat bagian pokok ini diketengahkan.
1.     Syariat.
Dari segi bahasa artinya  “tata-hukum”.  Disadari bahwa dikehidupan dunia ini tidak ada yang terlepas dari  “hukum”.   Termasuk manusia sebagai makhluk dan sebagai hamba Allah,  perlu diatur dan ditata,  sehingga tercipta ketertiban yang menyangkut hubungan terhadap manusia, manusia dengan alam,  serta manusia kepada  Allah Yang Maha Pencipta.
Didalam materi hukumnya,  dimana manusia sebagai objeknya, termaktub didalam aturan Islam,  seperti  Ilmu  Fiqih,  Ilmu  Adab dan lain – lainnya.  Dalam  Ajaran  Islam,  melaksanakan aturan dan ketentuan  hukum  tanpa memahami dan menghayatinya “apa tujuan hukum”,  maka pelaksanaannya tiada memiliki  nilai  shah atau dapat membatalkan kesempurnaan ibadaht  itu sendiri, dan membuat kesia – siaan dari segala perbuatannya.  
“Fasyarii-‘atun   akhdzun   bidii-nilkhaliqi – waqiyaa-muhu   bil-amri   wannahyin-  jalaa”.
“Syariat adalah berpegang pada aturan Allah yang menciptakan alam dan  menjalankan perintahNya serta meninggalkan larangan–laranganNya”.
Dengan kata lain syariat diartikan peraturan – peraturan yang  mencakup termasuk di dalamnya soal – soal yang  wajib,  sunnah,  haram,  makhruh, dan mubah.  Jadi hukum syara’ adalah berhubungan dengan perintah– perintah dan larangan–larangan  Agama.  Masuk dalam  syariat  segala amalan – amalan   dzahir    seperti,   shalat,    puasa,   zakat,   haji,    jihad  fisabilillah,  dan juga  hukum – hukum bidang ekonomi,  juga  ilmu  sosial.
Dan syariat adalah salah satu unsur yang harus dilaksanakan,  tidak bisa ditinggalkan bahkan merupakan hal yang mendasar bagi yang lain.  Antara syariaht  dengan  haqiqaht adalah  dua  hal  yang  tidak bisa dipisah – pisahkan bagi orang  yang  bertashawwuf,  dan saling berpautan oleh karena itu kaum mutashawwuf  berkata :
“Innal–haqiqata  bilaa  syarii–‘atin  baa–thilatun  wasy – syarii–‘atu  bilaa     haqiqatin  ‘aathilatun”. {“Sesungguhnya  haqiqat  tanpa  syariat  adalah  batal  dan  syariat  tanpa  haqiqat  sia – sia  dan  tidak  berarti”}.
Untuk mencapai tujuan dari segala apa yang telah menjadi aturan, yaitu apa yang telah  diwajiban bagi manusia, atas segala perintah-Nya dan menjauhkan  dirinya dari larangan – larangan-Nya,  tentu memerlukan “Ilmu” atau  “Jalan” yang harus diketahui.  Maka tanpa mengetahui jalannya,  tentu kesulitan mencapai tujuan itu.  Hal inilah yang dikata  atau dinamai  Ilmu Thariqat.
2.     Thariqat.
Dari  persamaan  kata  Thariqat  menurut  segi  bahasa  “madzhab”  yang   artinya  “jalan”, atau  petunjuk  dalam   melakukan  sesuatu  ibadaht  sesuai  dengan  ajaran  yang  ditentukan  dan  di  sunnahkan  Nabi  Muhammad s.a.w,  dan  dikerjakan  oleh  sahabat  dan  tabi’in.  Dengan  demikian  ahli  tashawwuf  yaqin  bahwa  peraturan-peraturan  yang  tersebut  dalam  ilmu  syariat  dapat  dikerjakan  dalam  pelaksanaan  yang  sebaik – baiknya.
Dan  seseorang  didalam  Islam  jika  tidak  memahami (mengerti)  akan  ilmu  tashawwuf  acap  kali  bertanyak  secara  mengejek,  mengapa  ada  pula  ilmu  thariqat, apa tidak cukup ilmu fiqih itu saja dikerjakan untuk  melaksanakan  ajaran  Islam  itu.  Pertanyaan  yang  demikian  itu  sebenarnya  sudah  melakukan  ilmu  thariqat  tatkala  gurunya  mengajarkan  ilmu  fiqih  itu  kepadanya, misalnya shalat, menunjukan dan membimbing dia bagaimana cara melakukan ibadaht shalat itu, dari niat, takbir, rukuk, sujud dan tertib  semua  bimbingan itu sesungguhnya dia melaksanakan perbuatan thariqat.
Mengetahui  adanya  jalan,  perlu  pula  mengetahui “cara”  melintasi  jalan  agar  tujuan  tercapaikan.  Tujuan  adalah  kebenaran,  maka  untuk  melintasi  harus  dengan  benar  pula.  Untuk  ini harus  sudah  ada  persiapan  bathin,   ya’ni  sikap  yang  benar.  Sikap hati yang demikian tidak akan tampil dengan sendirinya, sehingga perlu adanya latihan-latihan tertentu dengan cara tertentu pula.  Sekitar abad kedua dan ketiga  Hijriyah banyak golongan-golongan, umumnya terdiri dari golongan  “fuqara  wal  masakin”  dengan metode  latihan,  berintikan ajaran  Dzikrullah.  Sumber pegangan tidak terlepas dari ajaran  Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w.
Dan golongan-golongan ini menamakan dirinya dengan nama thariqat yang berpredikat (qaddasallahu sirrahu) masing-masing sesuai nama pembawa ajaran itu,  seperti  :
Thariqat Qadiriyah.                  : Syeikh Abdul Qadir Jailani q.s.
Thariqat Samaniyah.                : Syeikh Muhammad Saman q.s.
Thariqat Syadzaliyah,              : Syeikh Abu Hasan As-Syadzili q.s.
Thariqat Naqsyabandiyah      : Syeikh Baha’uddin Naqsyabandiyah q.s.
Thariqat Rifaiyah.                     : Syeikh Ahmad bin Abil-Hasan Ar-Rifai q.s.
Dan banyak lagi nama-nama Thariqat yang mereka anggap sejalan dengan apa yang  di firmankan  Allah  Ta’ala  didalam kitab suci  Al-Qur’an :
“Wa-an  lawis-taqaa mu  ‘alaath-thariqati  la-asqaiynaa  hum maa-an  rghadaqan”.
Jika mereka benar-benar istiqamah  ( tetap pendirian / terus-menerus ) diatas thariqat 
 (jalan) itu,  sesungguhnya  akan  Kami  ( Allah ) beri minum  mereka  dengan  air
 (hikmah)  yang  berlimpah-limpah”.(QS. Al- Jin,  16)
Banyak  Ulama yang berpendapat bahwa dari sejumlah thariqat-thariqat yang tersebar didunia  Islam,  ada  yang  Mu’tabar  ( di akui ) dan  Ghairu  Mu’tabar  ( tidak diakui ). 
Seseorang yang memasuki Thariqat,  dinamai salik (orang yang berjalan), sedang cara yang mereka tempuh dinamakan suluk.  Banyak hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang salik bila ingin sampai kepada tujuan,  antara lain khalwat  ( menyendiri ). Didalam menjalani khalwat diperlukan  muraqabah atau mengintai prilaku diri, dan muhasabah atau menghitung-hitung, merenungi  diri mana yang baik dan terpuji dan mana  yang jelek serta mana pula yang tercela,  mujahadah  atau tekun, rajin, sungguh-sungguh, dan banyak lagi istilah-istilah riyadhah  lahir  dan bathin,  sesuai dengan arahan atau petunjuk  dari  Syeikh / Mursyid  ( guru ),  Thariqat  itu sendiri.
3.     H a q i q a t.
Bermula dari pada ma’na yang sebenarnya haqiqat  yang berarti  “kebenaran”  atau “kenyatan asal”  atau  “yang sebenar-benarnya”.  Maka bahwa keempat akan ilmu seperti : Syariat,  Thariqat,  Haqiqat,  dan  Ma’rifat. Tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya karena syariat itu terpilin atau terjalin akan haqiqat  dan haqiqat itu terjalin atas syariat.
Kebenaran dalam hidup dan kehidupan, inilah yang dicari dan ini pula yang dituju. Haqiqat dunia, haqiqat isi dunia dan haqiqat diri yang mengatahui akan kedua itu sesungguhnya dikarenakan rahmat Allah Ta’ala, yang menjadikan akan manusia sebagai fitrah kekhalifahan.  Maka dari pada itu syariat untuk mewujudkan akan amal  dan haqiqat mewujudkan  ihwal.  Syariat ditujukan kepada manusia untuk melaksanakan ibadaht serta sampai kepadanya akan amar dan nahi  adalah untuk menjelaskan kecintaan dan mendirikan keterangan hukun dan nyatanya.  Sedangkan haqiqat  pelaksanaannya dalam khuluk dan iradaht,  hasilnya akan diperoleh mereka yang terpilih daripada hamba-Nya yang dicintai oleh Allah  Ta’ala. Maka thariqat adalah latihan untuk menempatkan diri setingkat demi setingkat lebih tinggi dan lebih dekat kepada  Allah  Ta’ala.
Perbedaan thriqat dan haqiqat tiada adanya, bahkan sambung-menyambung antara satu sama lainnya.
Dan kebenaran itu bukan hanya terlatak akan aqal pikiran dan hati tetapi juga pada rasa,  yakni  “rasa jasmani”  yang dapat dirasakan dengan rasa pahit,  manis,  asam, asin dan sebagainya.  Ada yang disebut rasa-ruhani yang dapat merasakan gembira, sedih, bingung, kecewa, ceria dan sebagainya. Dan terdapat pula pada diri manusia yang disebut rasa nurani rasa yang penuh cahaya “rahmatan lil’alaamin”, karunia  Allah Ta’ala atas segala keshalihan dan ketekunan didalam ketaatannya kepada  Allah Jalla wa azza. Dalam karunia Allah  ini Para Arif Billah menyebutkannya dengan istilah :
“Amrun dzauqy”  {Yaitu,  urusan yang paling dalam,  lepas dari segala isyarat dan ‘itibar  lalu dengan penuh kerendahan hati berkata kepada atas rahmat Allah Ta’ala}.
“Man lam yadzuq lam yadri”.  {“Siapa tidak merasa tidak akan mengetahui”}.
“Mayakhruju baina-syafatain illa isyarat wal ‘itibar” {“Apa yang keluar dari dua bibir adalah hanya sekedar isyarat dan ‘itibar”}.
4.     M a ‘ r i f a t.
Adapun ma’rifat berasal dari kata  ‘arafa yang ma’nanya mengenal, “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”. (“Siapa mengenal dirinya, sesungguhnyan dia dapat mengenal  Tuhannya”).  Jika dilihat dari perkataan tentang diri sesungguhnya penuh dengan serba ketergantungan, kekurangan, kelemahan, fana. Dan sesungguhnya tiada seorangpun manusia yang dapat (sanggup) dan mampu mengenal-Nya dalam arti haqiqi kecuali dengan pertolongan Allah Ta’ala. 
Didalam pelaksanaan akan ilmu ma’rifat  atau mengenal akan Allah Ta’ala, maka memang sering terdengar, baik massa dahulu kala maupun massa sekarang, hal yang mempertanyakan dapatkah melihat (mengenal) akan Allah. Pada suatu ketika seorang laki-laki bertanya kepada Imam Al-Junaidi r.a. berkata laki-laki itu :
Hai Abu Qasim, “apakah tuan melihat Tuhan waktu tuan menyembah Tuhan” maka Al-Junaidi berkata, “Penanya yang terhormat, Kami tidak menyembah Tuhan yang kami tidak lihat dan kami tidak mensucikan apa-apa yang tidak jelas”. Maka berkatalah orang itu, “bagaimana cara tuan melihat Tuhan”? Imam Al-Junaidi r.a. berkata :
 (Iqazdul Himan).
“Alkaifiyyatu ma’luu-matun fii haqqil-basyari mahh-hulatun fii haqqir-rabbi. Lantarahul-abshaaru fii hadzihid-dari bimusyaahadatil-‘ayaani walakin ta’rifuhul-quluubu bihaqa-iqil iymaani tsumma tataraqqa minal-ma’rifati ilaar-rukyahti bimusyaahadati nuuril-imtinaani”.
“Adapun shifat-shifat dalam haqiqat Keinsanan (AI-basyar) itu positif, sedang shifat-shifat dalam haqiqat Ketuhanan itu negatif, artinya, maka tidak bisa melihat Tuhan ditempat ini dengan penglihatan mata kepala, akan tetapi. Hati dapat melihat Tuhan dngan kekuatan Iman. Selanjutnya kita jejaki dari pada pertolongan “ma’rifat” kearah penglihatan (rukyat) Nur karunia dari Allah Ta’ala adanya”.
Selanjutnya Al-Junaidi r.a. berkata : “Maha Suci Allah dari shifat-shifat dari yang baru, Maha Suci Allah dengan keagunganNya yang mempunyai shifat sempurna, termulia dalam hati atas pemberian belas kasianNya, terkenal dengan keadilanNya yang mempunyai shifat-shifat yang Agung”.
Setelah orang itu menperhatikan uraian Al-Junaidi r.a. maka berdirilah orang itu seraya mencium tangannya beliau dan orang itupun terus bertaubat. Seterusnya orang itu tetap bersama-sama dengan Imam Al-Junaidi r.a. sampai beliau wafat.
Peristiwa seperti pada masa Al-Junaidi r.a. terjadi juga pada masa Syeikh Abdul Qadir- Jailany.  Pada suatu ketika, ditanya Syeikh Abdul Qadir Jailany dari seseorang laki-laki mengaku bahwa Ia dapat melihat Tuhan dengan matanya. Oleh karenanya maka orang itu menanyakan hal itu kepada Syeikh Abdul Qadir Jailany.
Beliau berkata : “Na’am” (“Iya”). Dan demikianlah sebenarnya bahwa beliau melihat Allah dengan mata hatinya (“Al-Bashiyra”) Nur Cahaya Yang Maha Agung.  Kemudian tembus dari penglihatan hatinya itu kepenglihatan matanya. Dalam hal ini, Ahli-Ahli Tashawwuf mangambil pengertian bahwa :
“Faidzaas-taulatir-ruu hhanniytu ‘alal basyariy-yatin ‘akasa nazharul-bashari ilal-bashiyrati falaa yaral-bashiyru illal ma’aniyl-latiy kanat tarahal bashiyratu”.
“Apabila Ruhaniah (al-ruhhaniy) telah meliputi atau berkuasa atas Indriah  (al-basyariy) maka berbaliklah penglihatan mata (al-bashaar) kedalam penglihatan hati sanubari
                (al-bashiyratu) maka ketika itu tiadalah penglihatan mata itu kecuali  
                yang (al-ma’aniy) yang dipahami yang menjadi objek penglihatan hati   
                (sedang objek penglihatan mata sesuatu yang tampak-tampak saja)”.

Kamis, 06 Desember 2012

Keutamaan Shalat


Shalat merupakan ibadah yang utama. Berulang kali kami membahas dan menyerukan dengan dasar Kitab Allah Yang Agung. Masalah keutamaannya ada sebagian tambahan penjelasan, sabda Nabi SAW:
"Tiada seorang hamba yang dianugerahi pemberian yang lebih baik daripada diberi izin untuk shalat 2 raka'at".
Kata Muhammad Ibnu Sirin RA:
"Andaikan aku disuruh memilih antara 2 raka'at shalat dengan surga, pasti aku memilih shalat, karena dalam shalat 2 raka'at terdapat ridho Allah SWT dan dalam surga terdapat Ridho-Ku".


Dikatakan:
Sesungguhnya Allah SWT ketika membuat 7 langit, Dia memenuhi dengan para malaikat yang beribadah shalat pada-Nya tanpa berhenti sesaatpun. Dia menjadikan penghuni 1 langit dengan 1 macam ibadah. Ada penghuni langit yang ibadahnya selalu sujud, ada yang merendahkan sayapnya karena takut kepada Allah SWT; malaikat penghuni illiyyin dan penghuni 'Arsy selalu berdiri mengelilingi Arsy sambil bertasbih memuji Allah dan memohonkan ampun buat orang-orang di bumi. Kemudian Allah mengumpulkan semua ibadah itu dalam ibadah shalat yang dikerjakan orang mukmin dan mereka jelas memperoleh bagian ibadah penduduk langit. Allah menambahkan keterangan dalam Al Quran bahwa mereka selalu mengucapkan dalam shalat. Allah pun menyerukan agar mensyukuri dan mendirikan shalat sesuai batas dan syarat-syaratnya.


Allah SWT berfirman:
"Yakni orang-orang beriman terhadap yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizkinya,,, (QS.2 Al Baqarah:3)".
Firman-Nya:
"Dan dirikanlah shalat,,, (QS.11:114)".
Firman-Nya:
"dan kalian dirikanlah shalat,,, (QS.73:20)".
Firman-Nya:
"Dan mereka yang mendirikan shalat,,, (QS.4:162)".
Dan tidak akan ingat kepada-Nya dalam shalat pada tempat-tempat yang diturunkan kecuali shalat yang didirikan selalu ingat pada-Nya.
"Setelah menerangkan orang-orang munafik Dia berfirman; 'Maka celakalah bagi orang-orang shalat; yakni mereka yang shalatnya selalu lalai (tidak khusuk). (QS.107 Al Ma'un:4-5)".


Mereka menamakan 'Orang-Orang Shalat' dan orang-orang mukmin, 'mereka yang mendirikan shalat'. Agar mereka mengerti bahwa 'Orang Shalat' itu banyak dan 'Orang yang mendirikan' amat sedikit. Mereka selain lalai tidak khusuk, mereka shalat hanya kebiasaan saja, mereka tidak mengingat pada hari dimana amal-amal manusia akan dihadapkan kepada Allah; diterima atau tidak.


Diriwayatkan:
Sabda Nabi SAW:
"Sesungguhnya diantara shalat kalian ada yang tidak ditulis shalatnya kecuali hanya sepertiganya, seperempatnya, seperlimanya atau seperenam saja, sampai beliau SAW menjelaskan sepersepuluhnya. Maksudnya; tidaklah ditulis shalat seseorang kecuali apa yang dia angan-angankan".
Diriwayatkan:
Bahwa Nabi SAW bersabda:
"Barangsiapa yang shalat 2 raka'at dengan hati penuh menghadap kepada Allah, maka dosa-dosanya lepas seperti ia baru dilahirkan oleh ibunya".


Agungnya shalat karena langsung berhubungan dengan Allah SWT. Manakala seseorang tidak mengerjakan shalat atau tidak khusuk, laksana ia berdiri didepan pintu raja untuk memohon ampunan dari kesalahannya. Orang itu menoleh ke kanan atau ke kiri (tidak menghormati atau mengagungkan sang raja), maka raja pun tidak akan mengabulkan permohonannya. Si Raja hanya menerima menurut ukuran perhatian orang-orang tersebut terhadap sang raja. Demikianlah pula shalat; kalau seseorang shalat tidak khusuk pasti tidak diterima. Ketahuilah, shalat ibarat sebuah pesta yang diselenggarakan oleh sang raja. Dalam pesta disediakan makanan dan minuman yang ada kelezatan yang amat bermanfaat, kemudian raja mengundang para manusia. Demikian juga shalat, Tuhan mengundang para manusia untuk shalat dengan beberapa perbedaan dan dzikir yang bermacam-macam, dimana macam-macam itu untuk menghadirkan kelezatan yang tidak membosankan. Perbuatan itu ibaratnya makanan dan dzikirnya ibarat minuman.


Dikatakan:
Dalam shalat terdapat 12.000 tingkat dan 12.000 itu diringkas menjadi 12 hal. Maka barangsiapa yang memelihara shalat harus menjaga 12 hal tersebut agar shalatnya menjadi sempurna; yakni 6 hal ada sebelum shalat dan 6 hal lagi ketika shalat.

  • Ilmu
Ada sabda Nabi SAW:
"Amal sedikit didasari dengan ilmu lebih baik daripada amal banyak dalam kebodohan".

  • Wudhu
Ada sabda Nabi SAW:
"Shalat seseorang tidak sah kecuali dengan bersuci".

  • Pakaian
Karena ada firman Allah SWT:
"Ambillah pakaianmu di setiap masjid. (QS.Al A'raf:31)".
Maksudnya: pakailah pakaianmu ketika shalat.

  • Menjaga waktu
Karena ada firman Allah SWT:
"Sesungguhnya shalat bagi seorang mukmin sudah ditentukan waktunya. (QS.4 An Nisa:103)".

  • Menghadap kiblat
Karena ada firman Allah SWT:
"Maka hadapkanlah wajahmu ke Masjidil Haram, dan dimana saja kamu berada hadapkan wajahmu kearah sana. (QS.2 Al Baqarah:150)".

  • Niat
Ada sabda Nabi SAW:
"Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya, dan bagi tiap-tiap orang sesuai apa yang diniatkan".

  • Takbir
Karena ada sabda Nabi SAW:
"Memuliakan shalat dengan takbir dan menghalalkannya dengan salam".

  • Berdiri
Sebab ada firman Allah SWT:
"Dan berdirilah untuk Allah dengan khusuk,,, (QS.2 Al Baqarah:238)".

  • Membaca Al Fatihah
Ada firman Allah SWT:
"Maka bacalah apa yang mudah dari Al Quran. (QS.73 Al Muzammil:20)".

  • Ruku'
Ada firman Allah SWT:
"Dan ruku'-lah,,, (QS.Al Baqarah:43)".

  • Sujud
Ada firman Allah SWT:
"Dan sujudlah,,, (QS.41 As Sajadah:37) (QS.22:77)".

  • Duduk
Ada sabda Nabi SAW:
"Ketika seorang lelaki mengangkat kepalanya dari duduk dan tasyahud akhir, sungguh telah sempurna shalatnya".

Apabila ke 12 hal tersebut sudah dikerjakan, maka masih dibutuhkan kunci utama, ialah ikhlas, untuk menyempurnakan shalat. Ada firman Allah SWT:
"Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agamamu kepada-Nya. (QS.39 Az Zumar:2)".



  • Mengenai ilmu
Ada 3 macam:

  1. Harus mengetahui kefardhuan dan kesunnahan shalat,
  2. Harus mengetahui apa yang dalam wudhu, misalnya masalah kesunnahan dan kefardhuannya, sebab masih ada hubungan dengan kesempurnaan shalat.
  3. Mengerti tipu daya syetan, lalu punya hasrat untuk memerangi (memusuhi) dengan sungguh-sungguh.

  • Mengenai Wudhu
Kesempurnaan ada 3 hal;
  1. Harus mensucikan hati dari rasa dendam, dengki, serta menipu.
  2. Membersihkan badan dari dosa.
  3. Membasuh anggota badan dengan sempurna tanpa berlebihan menggunakan air.
  • Kesempurnaan
Ada 3 hal:
  1. Sumber hidup dari barang halal.
  2. Suci dari barang najis.
  3. Harus sepadan dengan sunnah, tidak boleh sombong atau congkak.
  • Memelihara Waktu
Ada 3 cara:
  1. Pedomanmu terhadap matahari, bulan, bintang dan selalu meneliti datangnya waktu.
  2. Mengarahkan pendengaran ke adzan.
  3. Hatimu berfikir dan mengamati waktu shalat.
  • Menghadap Kiblat
Ada beberapa macam kesempunaan:
  1. Harus mengerti shalat apa yang dikerjakan.
  2. Harus mengerti dan menghayati bahwa kamu menghadap kearah Allah. Dia melihatmu, akhirnya engkau takut.
  3. Harus mengerti bahwa Dia mengetahui apa yang dalam hatimu, sehingga kamu punya hasrat untuk mengosongkan hati dari masalah duniawi.
  • Takbir
Ada beberapa macam kesempurnaan:
  1. Takbir dengan cara yang benar,
  2. Mengangkat 2 tangan sampai batas telinga,
  3. Menghadirkan hati (ketika takbir) sehingga takbirmu bisa mengagungkan-Nya.
  • Berdiri
Ada 3 kesempunaan:
  1. Arahkan pandangan ke tempat sujud.
  2. Tegakkan hatimu menghadap Allah, dan
  3. Jangan menoleh ke kanan atau ke kiri.
  • Bacaan
Ada 3 kesempurnaan:
  1. Harus membaca Al Fatihah dengan benar, tartil, tanpa merusakkan bacaan.
  2. Membaca sambil berfikir dan merenungkan setiap arti yang terkandung, dan
  3. Menyelenggarakan apa yang kamu baca.
  • Sujud
Ada 3 kesempurnaan:
  1. Meletakkan 2 telapak tangan tepat kearah 2 telingamu.
  2. Tidak melebarkan kedua sikumu, dan
  3. Tumakninah sekaligus bertasbih mengagungkan-Nya.
  • Duduk
Ada 3 kesempurnaan:
  1. Duduk diatas kakimu sebelah kiri dan mendirikan kaki kanan,
  2. Tasyahud dengan mengagungkan dan berdo'a untuk dirimu dan para orang mukmin, dan
  3. Salam dengan sempurna.
Menyempurnakan salam harus dengan memperbaiki niat dalam hatimu, bahwa salam kamu ditujukan buat orang di sebelah kananmu; para malaikat, orang lelaki atau wanita. Juga demikian ketika menoleh ke kiri. Dan pandanganmu jangan sampai jauh melampaui pundakmu.
  • Kesempurnaan Ikhlas
Ada 3:
  1. Lantaran shalatmu harus mengharap ridho Allah SWT, bukan mencari ridho (pujian) manusia.
  2. Harus mempertimbangkan Taufiq Allah SWT, dan
  3. Harus menjaga shalat (dari kekacauan gambaran hati) sehingga kamu bisa membawa bekal buat hari kiamat.
Karena ada firman Allah SWT:
"Barangsiapa yang membawa kebajikan. (QS.28 Al Qashash:84)".
Dia tidak berfirman:
"Man 'amila bil hasanatin. (Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan)".

Rabu, 05 Desember 2012

Karya ulama Patani dalam ilmu usuluddin dan tasawuf

KITA mengetahui bahawa ulama-ulama kita telah menterjemah, menyusun kitab dan mengajar berbagai-bagai disiplin ilmu yang ada hubungkaitnya dengan agama Islam. Antara yang paling ditekankan oleh ulama Nusantara, termasuk ulama Patani, ialah tiga ilmu fardu ain: Fiqh, Usuluddin dan Tasawuf.

Mengimbas perbicaraan yang lepas, telah diketengahkan karya Fiqh ulama-ulama Patani yang menjadi rujukan Nusantara. Kesinambungan dari itu, ia dilanjutkan pula kepada karya ulama Patani dalam dua bidang ilmu selain ilmu Fiqh, iaitu ilmu Usuluddin dan ilmu Tasawuf.

Karya Ilmu Usuluddin

Ilmu Usuluddin dinamakan juga dengan: Ilmu Tauhid, Ilmu Akidah, Ilmu Kalam dan dalam konteks Nusantara dikenali juga dengan Ilmu Sifat Dua Puluh dan Ilmu Mengenal Allah. Ulama-ulama silam Nusantara, termasuk ulama Patani, sependapat bahawa yang dinamakan dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah itu ialah orang-orang yang mengikut dan memahami akidah yang berasal daripada Imam Abul Hasan al-Asy'ari (260 H/ 875 M-324 H/939 M) dan Imam Abu Mansur al-Maturidi (235 H-305 H, riwayat lain dinyatakan wafat tahun 333 H) dan pentafsiran- pentafsiran ulama-ulama muktabar sesudah kedua-duanya, seperti Imam Baqillani (wafat 403 H/1013 M), Imam al-Ghazali (450 H/1059 M-505 H/1111 M), Imam Sanusi (833 H/1429 M-895 H/1490 M) dan ramai lagi.

Ulama Nusantara yang paling banyak menulis mengenai ilmu ini juga dibintangi oleh dua orang ulama yang berasal dari Patani, beliau ialah Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani dan Sheikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani. Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani menulis ilmu ini hanya dalam bahasa Melayu saja, sedang Sheikh Ahmad al-Fathani menulis dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu.

Sekurang-kurangnya terdapat tujuh judul Ilmu Tauhid karangan Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani baik yang nipis mahupun yang tebal-tebal. Demikian halnya dengan Sheikh Ahmad al-Fathani, sekurang-kurangnya tiga judul dalam bahasa Arab dan empat judul dalam bahasa Melayu.

Sejarah ringkas perkembangan Ilmu Tauhid di Nusantara selengkapnya telah penulis muat dalam buku berjudul Faridatul Faraid Syeikh Ahmad Al-Fathani 'Aqidah Ahlis Sunnah Wal Jama'ah Yang Sejati. Di sini penulis petik khusus mengenai pengkaryaan akidah kedua-dua ulama yang berasal dari Patani itu serta tambahan beberapa informasi terkini yang dirasakan perlu membahasnya.

Karya-karya Ilmu Tauhid oleh Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani adalah sebagai yang berikut: Ad-Durruts Tsamin fi 'Aqaidil Mu'minin (1232 H/1816 M), 'Iqdul Jawahir (1245 H/ 1829 M), ditulis dalam bentuk nazam.

Nazam ini beliau syarah sendiri, diberi nama Warduz Zawahir li Hilli Alfazhi 'Iqdil Jawahir (1245 H/1829 M). Selanjutnya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani mensyarah risalah mengenai Ilmu Tauhid karangan gurunya Saiyid Ahmad al-Marzuqi, diberi nama Al-Bahjatus Saniyah fil 'Aqaidis Saniyah (1258 H/1842 M).

Untuk peringkat kanak-kanak, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani menyusun risalah ilmu ini yang diberi judul Kifayatul Mubtadi wa Irsyadul Muhtadi atau digunakan dengan judul yang lain, iaitu: Irsyadul Athfalil Mubtadiin fi 'Aqaidid Din wal Ad'iyatun Nafi'ah lid Din, tanpa dinyatakan tahun selesai penulisan.

Sebagai pedoman melakukan zikir ahlit tauhid menurut metode Thariqat Syathariyah, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, ketika berada di Sambas, Kalimantan Barat menyusun kitab berjudul Dhiyaul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid, juga tanpa dinyatakan tahun selesai penulisan. Selain kitab-kitab akidah yang berdiri sendirinya, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani juga menulis ilmu itu pada bahagian halaman awal kitab-kitab fiqhnya, iaitu: Hidayatul Muta'allim, Al-Jawahirus Saniyah, Sullamul Mubtadi, Fat-hul Mannan dan Furu'ul Masail.

Ada pun risalah dan kitab Ilmu Tauhid karangan Sheikh Ahmad al-Fathani pula ialah: Jumanatut Tauhid (1293 H/1876 M), ditulis dalam bahasa Arab dalam bentuk puisi. Dalam tahun yang sama, iaitu 1293 H/1876 M, Sheikh Ahmad al-Fathani juga menyelesaikan Munjiyatul 'Awam li Manhajil Huda minaz Zhalam, juga ditulis dalam bahasa Arab bercorak puisi. Kitabnya judul Sabilus Salam fi Syarhi Hidayatil 'Awam (1306 H/1888 M), dalam bahasa Arab adalah merupakan syarah Hidayatul 'Awam karya gurunya Sheikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki.

Pada tahun yang sama, iaitu 1306 H/1888 M, Sheikh Ahmad al-Fathani menyusun kitab akidah dalam bahasa Melayu berjudul 'Iqdul Juman fi 'Aqaidil Iman.

Kitab akidah dalam bahasa Melayu karya Sheikh Ahmad al-Fathani yang paling banyak diajarkan di banyak tempat di Nusantara ialah Faridatul Faraid fi 'Ilmil 'Aqaid. Selain dalam karya-karya khusus mengenai akidah tersebut, Sheikh Ahmad al-Fathani juga menulis akidah dalam karya-karya fiqh yang diletak pada bahagian awalnya, iaitu: Al-Bahjatul Mubtadin, 'Unwanul Falah.

Manakala dalam bentuk penjelasan yang panjang dimuat pada bahagian awal Al-Fatawal Fathaniyah. Dalam karyanya Hadiqatul Azhar juga terdapat tentang akidah, di antaranya mengenai tujuh masalah yang menjadi ikhtilaf antara Imam Abul Hasan al-Asy'ari dengan Imam Abu Hanifah.

Selain yang tersebut, terdapat pula tulisan beliau pada kitab-kitab akidah yang beliau tashhih, di antaranya di bahagian tepi Bidayatul Hidayah oleh Sheikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin al-Asyi (Aceh) dan Ad-Durruts Tsamin oleh Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani.

Sungguhpun Sheikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani jauh lebih tua dari Sheikh Ahmad al-Fathani, bahawa umurnya sebaya dengan ayahnya Sheikh Muhammad Zain bin Sheikh Wan Mushthafa al-Fathani, namun karangan-karanganny a muncul kemudian daripada karangan-karangan Sheikh Ahmad al-Fathani.

Sheikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani sekurang-kurangnya menghasilkan tiga judul dalam bidang Ilmu Tauhid, dua judul di antaranya ialah: 'Aqidatun Najin fi Ushulid Din wa Tashawwufis Shaafin (1308 H/1890 M). Kitab ini adalah merupakan kitab akidah yang terbesar kedua di Nusantara sesudah Warduz Zawahir karya Sheikh Daud bin Abdullah.

Hingga sekarang kitab 'Aqidatun Najin masih banyak diajarkan di banyak tempat di seluruh Nusantara. Ilmu Akidah untuk peringkat kanak-kanak pula, Sheikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani menyusun sebuah risalah berjudul Miftahul Murid fi 'Ilmit Tauhid, tanpa dinyatakan tarikh selesai penulisan.

Sungguhpun masih banyak kitab akidah yang dikarang oleh ulama-ulama Patani selain tiga orang ulama besar Nusantara, yang berasal dari Patani yang tersebut di atas, penulis tinggalkan setakat itu saja. Seterusnya penulis berasa perlu untuk membahas atau menulis sedikit pembelaan beberapa kritikan terhadap karya akidah tradisional Nusantara yang dilemparkan oleh orang-orang tertentu, di antaranya ialah:

1. Tuduhan bahawa Imam Abul Hasan al-Asy'ari taubat daripada fahaman yang pernah diajarnya, kerana kitabnya yang terakhir ialah Al-Ibanah 'an Ushulid Diyanah. Pendapat demikian perlu dijawab. Sejarah yang ittifaq para ulama bahawa Imam Abul Hasan al-Asy'ari hanya keluar daripada Mazhab Mu'tazilah setelah itu tetap berpegang dengan Mazhab Ahlis Sunnah wal Jama'ah, di mana beliaulah tokoh pertama menyusun risalah/kitab mengenai itu.

Sejarah Imam Abul Hasan al-Asy'ari sebagai murid dan anak tiri Imam Abu Hasyim al-Jubba-i, mengikut fahaman Mu'tazilah selama 40tahun, dan keluar daripada mazhab itu, diperkenalkan oleh Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam ad-Durruts Tsamin, Warduz Zawahir dan Al-Jawahirus Saniyah. Tulisan Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani mengenai yang tersebut adalah yang terawal dalam bahasa Melayu, belum dijumpai tulisan ulama Nusantara lainnya. Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani tidak pernah menyebut bahawa Imam Abul Hasan al-Asy'ari taubat daripada Mazhab Ahlis Sunnah wal Jama'ah, demikian juga ulama-ulama Nusantara selain beliau.

Pendapat yang menyebut bahawa Al-Ibanah 'an Ushulid Diyanah adalah karya Imam Abul Hasan al-Asy'ari yang terakhir, adalah tidak terdapat bukti yang kukuh. Dalam kitab Al-Ibanah tidak pernah menyebut perkara itu, dan tidak terdapat tahun mulai ataupun selesai penulisan. Ulama Ahlis Sunnah wal Jama'ah golongan Abul Hasan al-Asy'ari meyakini bahawa Al-Ibanah 'an Ushulid Din dan Al-Luma' adalah kedua-dua kitab Imam Abul Hasan al-Asy'ari yang ditulis sesudah beliau keluar daripada Mu'tazilah. Al-Luma' adalah memperluas dan memperjelas kandungan Al-Ibanah. Jadi seolah-olah Al-Ibanah seperti matan, sedang Al-Luma' pula seperti syarah. Oleh itu, Al-Ibanah ditulis lebih dahulu daripada Al-Luma'.

2. Tuduhan bahawa akidah Imam Abul Hasan al-Asy'ari dan pengikut-pengikutny a adalah berdasarkan pemikiran semata-mata, tidak berdasarkan kepada al-Quran dan hadis.

Jawapan mengenai ini sila rujuk Ad-Durruts Tsamin, halaman 5, dengan jelas Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani menulis, "... Kemudian diangkatkan kitab yang ia (maksudnya Imam Abul Hasan al-Asy'ari) karang atas Mazhab Ahlis Sunnah, kepada manusia. Maka ia pertama-tama orang yang me[ng]edarkan Ilmu 'Aqaid atas jalan kitab dan sunah, yakni mengikut Quran, dan hadis, dan ijma' sahabat yang dahulu-dahulu yang salih-salih ..."

3. Tuduhan bahawa akidah Imam Abul Hasan al-Asy'ari dan pengikut-pengikutny a hanya mengajar Tauhid Rububiyah sahaja, tidak Tauhid Uluhiyah. Baik Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani mahupun Sheikh Ahmad al-Fathani dalam beberapa halaman karyanya juga menyebut istilah Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah ataupun Ilahiyat di antaranya dalam Ad-Durruts Tsamin, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani menulis, "Dan tatkala selesai daripada menyatakan barang yang ta'alluq bagi Uluhiyah, iaitu barang yang wajib, dan barang yang mustahil, dan barang yang harus bagi-Nya maka sekarang kami masuk menyatakan barang yang ta'alluq pada hak Nubuwah dan risalah pula."

Rasulullah dan Pengemis Yahudi Buta



abmaur.jpg

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarokaatuh


Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya". Setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Beliau SAW wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya, "anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan", Aisyah r.ha menjawab pertanyaan ayahnya, "Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja". "Apakah Itu?", tanya Abubakar r.a. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana", kata Aisyah r.ha.

Ke esokan harinya Abubakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepada nya. Ketika Abubakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, "siapakah kamu ?". Abubakar r.a menjawab, "aku orang yang biasa". "Bukan !, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku dengan mulutnya sendiri", pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, aku memang bukan orang yang biasa datang pada mu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a. ia pun menangis dan kemudian berkata, benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.... Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar r.a.